Kisah Umar bin Khatthab Menangis Melihat Tempat Tidur Seorang Rasulullah

 Kisah Umar bin Khatthab Menangis Melihat Tempat Tidur Seorang Rasulullah ﷺ, Kekasih Allah


Nabi Muhammad ﷺ ialah manusia yang paling mulia dan paling berpengaruh sepanjang zaman. Rasulullah ﷺ hidup di tengah-tengah masyarakat negeri Arab ketika itu dengan penuh kesederhanaan.

Ada kisah yang dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik tentang keadaan rumah Rasulullah ﷺ yang jelas menggambarkan kesederhanaan Rasulullah ﷺ, ini terlihat dari beliau tidur di atas tempat tidurnya yang hanya beralaskan pelepah tanpa alas di bawahnya dan bantalnya dari kumpulan serabut yang dilapisi kulit. Masyaallah...! Betapa sederhananya Rasulullah ﷺ.

Beliau tidur di atas tikar, di bawahnya tidak ada alas apapun, sehingga membekas di pinggang beliau, hal ini pernah membuat Umar menangis melihat keadaan Rasulullah ﷺ.

(Diriwayatkan oleh Bukhari No. 4913 dan Muslim No. 1479).

Rumah Rasulullah ﷺ bersama Sayyidah Khadijah radhiyallahu 'anha (Tepatnya Pintu Kamar Rasulullah) sebelum hijrah ke Madinah

Anas bin malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Aku masuk kepada Nabi ﷺ, Saat itu beliau sedang tidur di atas tempat tidurnya, bagian depannya dianyam dengan pelepah, di bawah kepala beliau adalah bantal dari kulit yang berisi serabut. Lalu beberapa orang sahabat masuk kepada beliau, Umar juga masuk, maka Rasulullah ﷺ membalikkan tubuhnya sehingga Umar melihat pinggang beliau tersingkap, tempat tidur dari anyaman pelepah itu meninggalkan bekas di pinggang Rasulullah ﷺ, maka Umar pun menangis.

Maka Nabi ﷺ bertanya kepada Umar, 'Apa yang membuatmu menangis wahai Umar?'

Umar menjawab, 'Demi Allah, Sungguh aku mengetahui bahwa anda lebih mulia di sisi Allah ﷻ dari pada Kaisar Persia dan Kaisar Romawi, sementara dua orang itu bermain-main dengan dunia seperti yang telah mereka berdua lakukan, Sedangkan engkau ya Rasulullah, keadaanmu seperti yang Aku lihat ini.'

Maka Nabi ﷺ bersabda:

ماترضى أن تكون له‍م الدنيا ولنا الآ خر ة؟

'Apakah kamu tidak rela, jika mereka mendapatkan dunia, dan kita mendapatkan Akhirat?'

Umar menjawab, Ya. 'Rasulullah ﷺ bersabda, 'Demikianlah perkaranya.
(Diriwayatkan oleh Ahmad No. 12009 dan Ibnu Hibban dalam shahihnya No. 6362. Syu'aib al-Arna'uth berkata, "shahih li ghairihi. "Asalnya dalam ash-Shahihain, diriwayatkan oleh al-Bukhari No. 4913 dan Muslim No. 1479)

Begitu sederhana Rasulullah ﷺ. Mari kita bershalawat kepada Beliau:

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد

Rahasia mengapa setan takut kepada umar

 Rahasia Mengapa Setan Takut kepada Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu


Ada seorang mukmin bertemu dengan setan, lalu ia bergulat melawannya dan berhasil membantingnya. Setan tersebut ditanya oleh teman-temannya, “Mengapa kamu bisa dibantingnya?”

“Di antara kawan-kawannya, orang itu benar-benar sangat kuat,” jawabnya.

“Siapa orang itu, apakah ia bukan Umar radhiyallahu 'anhu?”

Setan sangat takut terhadap Umar, seperti sabda Nabi ﷺ.

“Apabila Umar radhiyallahu 'anhu berjalan di suatu lorong atau lembah, setan akan mengambil jalan di lorong atau lembah yang lain.”

Bagaimana Umar radhiyallahu 'anhu bisa naik ke peringkat yang seperti itu? Jawabnya karena kesabaran. Ia mengikat syahwatnya dengan mengekang hasrat dan keinginannya.

Semasa menjadi Khalifah, kaum Muslimin pernah mengalami masa paceklik sehingga mereka kelaparan. Beliau menderita sakit wasir dan kulitnya menghitam karena ia bersumpah tidak akan makan daging atau mentega sebelum keadaan membaik. Para sahabat memandangnya terlalu keras kepada diri sendiri maka mereka kemudian berkumpul untuk membicarakan keadaan Khalifah. Salah seorang di antara mereka berkata,

“Siapa yang berani berbicara kepada Umar dalam persoalan ini?”

Mereka menjawab, “Tak ada yang berani selain putrinya sendiri, yakni Ummul Mukminin Hafshah, karena beliau tidak akan mencela dan memarahinya.”

Akhirnya dicapai kesepakatan untuk minta bantuan Ummul Mukminin, Hafshah, agar melunakkan sikap ayahnya terhadap dirinya sendiri.

Lalu Hafshah datang menemui ayahnya. “Wahai ayah, cukuplah sudah engkau menyiksa dirimu dan berlaku keras pada dirimu,” ungkap Ummul Mukminin itu lembut.

Umar menatap putrinya dan berkata, “Wahai Hafshah, bukankah engkau sudah tahu bahwa Rasulullah tidak pernah makan roti sampai kenyang hingga dua hari berturut-turut? Hafshah, bukankah engkau sendiri pernah mengatakan bahwa Rasulullah hanya memiliki sebuah selimut beludru yang beliau pakai untuk selimut pada musim dingin dan beliau hamparkan di bawah sebagai alas tidurnya pada musim panas. Hafshah, bukankah aku telah diberi tahu bahwa Rasulullah belum pernah merasakan roti lunak dan lembut dalam hidupnya…” Umar menyebutkan beberapa hal kepada Hafshah, lalu menangis sehingga Hafshah pun ikut menangis.

Beliau kemudian bangkit meninggalkan ayahnya.

Bagaimana setan tidak takut kepada Umar? Sesungguhnya seluruh dunia berada dalam genggamannya.

Sesungguhnya orang yang sabar mengekang syahwatnya akan menginjak dunia dengan kakinya. Sesungguhnya orang yang sabar mengekang hawa nafsunya dan tidak menaatinya, ia lebih kokoh dari gunung-gunung yang kokoh.
 

📚Disadur dari Tarbiyah Jihadiyah jilid ke-10 karya syaikh Abdullah Azzam.

Kisah Umar bin Khatab dimarahi Istrinya

 Kisah Umar bin Khatthab Dimarahi Istrinya




Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan sebuah kisah yang banyak beredar di internet dan buku-buku pernikahan.

Bahwasanya seorang lelaki mendatangi Umar untuk mengadu tentang perangai istrinya, lalu lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Umar dan mendengar suara omelan istri Umar kepada Umar. Umar bin Khattab sendiri diam tak bersuara, tak membalas omelan istrinya itu.

Lelaki itu pun berbalik pergi seraya berkata (dalam hati), “Jika keadaan Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab saja seperti ini, bagaimana bisa (aku mengadukan) perihalku.”

Umar keluar dari rumah dan melihat lelaki itu pergi. Umar memanggil lelaki itu, “Apa keperluanmu, wahai saudaraku?”

Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, aku datang untuk mengadu kepadamu tentang perangai istriku yang selalu mengomeliku, namun barusan aku mendengar istrimu pun berbuat demikian kepadamu sehingga akupun kembali seraya berkata (dalam hati) kalau keadaan Amirul Mu’minin dengan istrinya pun seperti ini, bagaimana bisa (aku mengadukan) perihalku.”

Umar pun berkata kepada lelaki itu, “Aku menanggung omelannya (dengan sikap diamku) karena hak-hak yang dimilikinya dariku. Istriku memasak makanan dan mengadon roti untukku, dia mencuci bajuku dan menyusui anakku padahal semua itu bukanlah kewajiban baginya. Selain itu, hatiku pun merasa tenang kepadanya dan (terjauhkan) dari hal-hal yang haram. Itulah yang membuatku (bersikap diam) menanggung omelannya.”

Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, seperti itu pulakah istriku?”

Umar menjawab, “Kau tanggunglah beban itu, wahai saudaraku. Karena semua (omelan) itu hanya sejenak saja.”

Kami tidak mendapati asal bagi kisah ini, tidak pula kami dapati seorang pun dari ulama hadits yang membicarakan hadits ini.

Kisah ini hanya disebutkan oleh Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, ahli fikih mazhab asy-Syafi’i, di kitab Hasyiyah ‘ala Syarh al-Minhaj (3/441-442) sebagaimana disebutkan juga oleh Abu al-Laits as-Samarqandi, ahli fikih mazhab al-Hanafi, di kitabTanbih al-Ghafilin (halaman 518), demikian juga Ibn Hajar al-Haitami di kitab az-Zawajir (2/80).

Akan tetapi tak seorang pun dari ketiganya yang menyebutkan sanad bagi kisah tersebut, bahkan mereka mengemukakannya dengan shighah at-tamridh yang menunjukkan kelemahan riwayat seperti, “Dzukira anna rajulan (disebutkan bahwa seorang lelaki),” atau, “Ruwiya anna rajulan (diriwayatkan bahwa seorang lelaki),”dan penyebutan (shighah tamridh) ini mengindikasikan bahwa kisah tersebut tidaklah sahih, dan ini dikuatkan pula oleh hal-hal berikut:

Pertama

Kisah ini berlawanan dengan hal yang masyhur dalam sejarah Umar radhiyallahu ‘anhu tentang keadaannya yang disegani manusia. Lantas bagaimana dengan istrinya? Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,“Setahun lamanya aku menahan diri untuk bertanya kepada Umar bin Khatthab mengenai satu ayat al-Quran. Aku tak berani menanyakannya karena kewibawaannya.”–Diriwayatkan oleh Bukhari No. 4913 dan Muslim No. 1479.

Amr bin Maimun berkata, “Aku menyaksikan Umar radhiyallahu ‘anhu pada hari beliau ditikam. Tidak ada hal yang menghalangiku untuk berada di shaf pertama kecuali kewibawaannya. Umar memang lelaki yang disegani.” –Hilyah al-Auliya’ (4/151).

Kedua

Suara keras yang ditujukan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu oleh istrinya sampai-sampai terdengar oleh orang yang berada di luar rumah, sementara Umar hanya berdiam diri saja adalah kemungkaran bukan kesabaran, dan yang diketahui dari ahwal Amirul Mu’minin, beliau akan mengingkari perkara demikian dengan menghentikannya.

Umar adalah orang yang ditakuti oleh setan. Seandainya Umar melewati sebuah jalan, niscaya setan akan melewati jalan lain yang tak dilewati oleh Umar. Perempuan-perempuan yang meninggikan suara dan mengomeli suami mereka tidaklah dikenali di kalangan salaf.
Ketiga

Ucapan Umar, “Istriku memasak makanan dan mengadon roti untukku, dia mencuci bajuku dan menyusui anakku padahal semua itu bukanlah kewajiban baginya,” merupakan ucapan yang tidak shahih. Pelayanan istri terhadap suaminya merupakan kewajiban menurut cara yang ma’ruf dan khususnya masalah penyusuan. Wajib bagi istri untuk menyusui anak-anaknya tanpa upah apabila dia masih menjadi istri suaminya.

Sehingga kesimpulannya adalah bahwa kisah di atas tidak ada asalnya, matannya berisi kemungkaran dan tidak shahih. Oleh karena itu tidak benar menjadikannya sebagai dalil tentang kebolehan bagi istri untuk meninggikan suara terhadap suaminya.

Meninggikan suara terhadap suami merupakan perangai dan pergaulan yang buruk. Hal itu tidak diperbolehkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan,
“Kami katakan kepada istri (yang berbuat seperti itu) bahwa meninggikan suara kepada suaminya itu merupakan perangai yang buruk. Suami adalah penanggung jawab dan pemimpin baginya maka sudah selayaknya untuk dihormati dan diajak berkomunikasi dengan budi bahasa yang baik karena hal itu lebih memungkinkan untuk mencapai kerukunan dan kecintaan di antara pasangan suami istri. Demikian juga dengan suami, dia harus mempergauli istrinya dengan baik pula sehingga terwujud kesalingan pergaulan yang baik.
Allah ﷻ berfirman, “Bergaullah kalian dengan mereka cara yang baik. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Maka nasihatku kepada istri (yang melakukan perbuatan ini), hendaklah dia bertakwa kepada Allah ﷻ mengenai dirinya dan suaminya. Janganlah meninggikan suara kepada suaminya terutama tatkala suaminya itu mengajak bicara kepadanya dengan tenang dan lembut.”

Takutnya Para Wanita pada Umar

Dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

Umar meminta izin masuk kepada Rasulullah ﷺ. Saat itu di rumah Rasulullah ﷺ ada beberapa perempuan Quraisy yang sedang berbincang-bincang lama dengan beliau seraya mengangkat suara mereka.

Ketika mengetahui Umar meminta izin untuk masuk, para perempuan itu terdiam dan bergegas-gegas untuk berhijab. Rasulullah ﷺ mengizinkan Umar masuk. Rasulullah ﷺ tertawa, lalu Umar berkata, “Semoga Allah senantiasa membahagiakanmu, wahai Rasulullah.”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku heran dengan para perempuan yang ada di sini, ketika mendengar suaramu, mereka langsung saja berhijab.”

Umar berkata, “Wahai Rasulullah, engkaulah yang lebih patut untuk mereka segani.”

Kemudian Umar berkata (kepada para perempuan itu), “Wahai musuh-musuh bagi jiwa-jiwa kalian sendiri! Kenapa kalian takut kepadaku tapi tak takut kepada Rasulullah ﷺ”

Para perempuan itu berkata, “Iya! Karena kamu lebih galak dan lebih kasar daripada Rasulullah ﷺ.”

Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Wahai Ibnul Khatthab, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah setan mendapatimu melalui satu jalan kecuali dia akan mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang kau lalui.”

(HR. Bukhari No. 3120 dan Muslim No. 2397)




 ~~~ Wallahu A'lam ~~~

Tabi'in Bijak

 Tokoh Tabi'in Syuraih Al-Qadhi, Hakim Yang Bijak



Hari itu, amirul mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu membeli seekor kuda dari seorang dusun. Setelah membayarnya, beliau menaiki kuda tersebut dan bermaksud pulang menuju rumahnya. Namun tak seberapa jauh dari tempat itu, tiba-tiba kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan. Maka Umar membawanya kembali kepada si penjual seraya berkata,

Umar: “Aku kembalikan kudamu, karena ternyata dia cacat.”

Penjual: “Tidak wahai amirul mukminin, tadi aku menjualnya dalam keadaan baik.”

Umar: “Kita cari seseorang yang akan memutuskan permasalahan ini.

Penjual: “Aku setuju, aku ingin Syuraih bin al-Harits al-Kindi menjadi hakim bagi kita berdua.”

Umar: “Mari.”

Amirul mukminin Umar bin Khathab bersama penjual kuda tersebut mendatangi Syuraih. Umar mengadukan penjual itu kepadanya. Setelah mendengarkan juga keterangan dari orang dusun tersebut, Syuraih menoleh kepada Umar bin Khathab sambil berkata,

Syuraih: “Apakah Anda mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?”

Umar: “Benar.”

Syuraih: “Ambillah yang telah Anda beli wahai amirul mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan seperti tatkala Anda membelinya.”

Umar: (memperhatikan Syuraih dengan takjub lalu berkata) “Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat, dan hukum yang adil. Berangkatlah ke Kufah, karena aku mengangkatmu menjadi qadhi di sana.”

Ketika Umar menetapkan Syuraih bin al-Harits sebagai qadhi, beliau bukanlah sosok yang asing di kalangan masyarakat Madinah. Beliau adalah orang yang memiliki kedudukan di antara para ahli ilmu, tokoh-tokoh terkemuka, para sahabat dan para tokoh tabi’in.

Beliau termasuk dalam bilangan ulama yang terhormat dan utama, diperhitungkan dalam tingkat kecerdasan, kebagusan perilaku, banyaknya pengalaman, dan kedalaman wawasannya.

Beliau dilahirkan di Yaman kota al-Kindi, hidup lama dalam masa jahiliyah. Ketika cahaya hidayah datang di jazirah Arab memancarkan sinar Islamnya sampai ke Yaman, Syuraih termasuk orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, turut menyambut dakwah menuju hidayah dan kebenaran.

Siapapun yang mengetahui keutamaan dan keistimewaan pribadinya berandai sekiranya Syuraih lebih cepat sampai ke Madinah dan bertemu Rasulullah ﷺ sebelum wafat, tentu beliau bisa menggali ilmu dari sumbernya secara langsung tanpa perantara. Beliau bisa mendapat bagian kehormatan sebagai sahabat setelah mendapatkan hidayah itu, hanya saja apa yang telah ditakdirkan untuknya telah terjadi.

Bukanlah berarti gegabah jika al-Faruq Umar bin Khathab menyerahkan jabatan dalam pengadilan agung itu kepada seorang tabi’in, meski dalam masyarakat Islam saat itu masih banyak sahabat Nabi yang bersinar cemerlang bagai cahaya bintang. Waktu pun telah membuktikan betapa firasat dan pilihan Umar radhiyallahu ‘anhu adalah tepat.

Terbukti, Syuraih menjadi qadhi di pengadilan selama 60 tahun secara berturut-turut sejak masa khilafah Umar bin Khathab, lalu Utsman bin Affan, lalu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah serta khalifah setelah Mu’awiyah dari Bani Umayyah. Hingga akhirnya beliau mengundurkan diri pada awal pemerintahan Hajjaj bin Yusuf sebagai wali di Irak.

Beliau telah berumur 107 tahun. Hidupnya penuh dengan peristiwa dan pujian. Pengadilan Islam bersinar karena keindahan keputusan-keputusan Syuraih dan semerbak dengan indahnya kepatuhan dari kaum muslimin maupun non muslim. Itu semua karena ditegakkannya syariat-syariat Allah oleh Syuraih, juga berkat kerelaan semua orang untuk menerima keputusannya.

 

 ~~~ Wallahu A'lam ~~~